Bonjour! Hi, my name's Flora Nerissa Arviana. Nessa. Gonna be 15th. 100% Catholic and 100% Indonesian. Spammers? Anons? Bashers? Copycaters? JUST GO TO HELL! Tagboard! Back to past Credits!
| The 1st Short Story :D
(source: weheartit)
Hi Guys! It's nice to meet ya again! :D Okay, kayaknya ini adalah saat yang tepat untuk gue mempublikasikan cerpen yang udah gue buat. Sebelumnya, sori ya kalo ceritanya agak basi. Sebenernya ni cerpen pernah gue kumpulin untuk tugas Bahasa Indonesia, hope you'll like it ;)
Akankah?
Selalu sama, itulah yang aku alami setiap harinya. Setiap
pulang sekolah harus naik bus TJ (Trans Jogja) dan haltenya cukup jauh dari
sekolah, tepatnya di halte depan Stadion Mandala Krida atau bahasa kerennya
Shelter Mandala Krida. Ini aku lakukan karena saat aku pulang sekolah, kedua
orang tuaku sama-sama masih harus bekerja dan pulangnya sore. Kadang kalau aku
capek, capek banget, aku naik becak saja daripada berjalan kaki dari sekolah
menuju Shelter Mandala Krida. Tapi hal ini cuma terjadi sampai aku kelas 8 sih.
Kelas 9 ini aku tidak lagi sering naik TJ, karena aku lebih sering pulang sore,
dan tentunya lebih sering dijemput bapakku, jadi aku tidak perlu naik bus lagi.
Kau pasti penasaran kenapa aku menceritakan hal sebasi itu:
pulang sekolah naik bus. Kenapa? Karena dulu, kelas 8, waktu aku masih pulang
dengan naik bus setiap hari, ada cerita-cerita dibalik rutinitasku yang
pastinya basi juga.
Aku masih ingat betul, hari itu hari Kamis, hanya saja aku
lupa kejadian itu pada bulan apa, mungkin sekitar bulan Mei 2012. Aku pulang
sekolah dengan wajah kucel dan muka yang terlipat. Tahu kenapa? Aku juga masih
ingat, waktu itu aku mendapat ulangan IPA dengan nilai yang kurang memuaskan
dan harus remidi, dan saat itu juga harus remidi Biologi. What the hell! Tidak biasanya aku remidi pelajaran itu. Ya aku
akui, aku memang kurang maksimal belajarnya, sih. Soalnya ada tugas kelompok
Bahasa Inggris yang harus aku kerjakan bersama beberapa temanku. Ah ya
sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
Waktu aku mau pulang dan sudah melangkah keluar pintu dekat
lobby sekolah, ada seseorang yang menepuk pundakku. Sudah kuduga ini pasti
ketua kelasku, kelas 8A, Tristan namanya. Dia memang sering memanggil orang
dengan menepuk pundak orang yang akan dia panggil. Apa banget.
“Eh Rat, kamu dipanggil tuh sama Pak Ramli, disuruh nemuin
beliau di ruang guru sekarang,” kata Tristan sambil menunjuk ruang guru yang berada
di dekat lobby sekolahku. Ya, disitulah ruang guru di sekolahku.
“Hah? Kenapa?”
“Nggak tau, pokoknya tadi Pak Ramli bilang kamu disuruh ke
ruang beliau sekarang…”
“Oh oke, Tan…”
Segera saja aku melangkah masuk ke ruang guru. Kenapa ya
aku dipanggil Pak Ramli? Apa gara-gara aku remidi Biologi tadi? Ya sudahlah,
aku segera menemui Pak Ramli yang sedang asyik dengan laptop Acer-nya.
“Maaf, Pak, Bapak manggil saya?” sapaku sopan.
“Ya, Ratri.”
“Ada apa ya, Pak?”
“Masih nanya ada apa? Kamu ini gimana sih? Jelas-jelas tadi
kamu remidi Biologi! Nggak biasanya kamu dapet nilai Biologi 73! Kamu tau
KKMnya? 75! Biasanya kamu dapet 80 lebih. Ada apa sebenarnya?” tanya Pak Ramli,
guru Biologi yang terkenal killer itu
menginterogasiku. Huh, kuakui aku sempat kaget karena nada bicaranya yang
tiba-tiba meninggi itu.
“Em… Maaf, Pak, saya memang kurang belajar, soalnya semalam
saya harus kerja kelompok untuk tugas Bahasa Inggris,” jawabku gugup.
“Halah, alibi kamu! Ya sudah, yang penting tadi kamu jujur.
Lain kali belajar lebih giat! Sekarang kamu boleh pulang!” tegas guru
berkacamata plus itu.
“Mm… Baik, Pak, saya akan belajar lebih giat lagi. Permisi,
Pak,” sahutku sembari undur diri.
Hah, hari ini sial bagiku. Payah banget deh. Tadi aku
memang tidak bisa mengerjakan ulangan Biologi karena aku memang kurang belajar.
Kena semprotan Pak Ramli pula. Hufft. Tapi tetap saja siang itu kuakhiri dengan
wajah kecut. Akhirnya kuputuskan untuk pulang dan melupakan semuanya.
Dari sekolah, aku naik
becak sampai Shelter Mandala Krida. Bukan malas sih sebenarnya, tapi karena aku
sedang tidak ada mood, maka
kuputuskan naik becak. Setelah beberapa menit, sampai juga aku disana. Dengan langkah gontai, aku berjalan
menuju pintu masuk Shelter Mandala Krida. Tiba-tiba, seorang petugas TJ
berjilbab–umurnya kira-kira 25-an–yang tentunya sudah hafal denganku–tersenyum
ramah kepadaku. Aku, dengan raut wajah yang masih sama (baca: kucel),
memaksakan senyum karena ingin membalas senyum si mbak tadi.
“Mbak, saya mau naik jalur 2A ya, Mbak. Turun di Terminal
Concat,” kataku sambil menyodorkan uang Rp 3.000,00 (karena ongkos naik TJ
untuk 1 orang Rp 3.000,00) kepada si mbak.
“Oke Dek, seperti biasa,” sahutnya tersenyum.
Setelah itu aku mulai duduk di kursi yang tersedia di halte
tersebut. Walaupun halte tersebut tidak seluas halte di RS Bethesda atau halte
di Terminal Concat, tapi halte itu nyaman, kok. Bahkan aku sudah hafal
wajah-wajah petugas halte, termasuk si mbak berjilbab tadi. Enak lho
tanya-tanya apapun ke petugas TJ. Hehe. Untuk mengusir kebosanan, aku biasanya
baca koran atau majalah yang ada di halte itu.
Kulirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan
kiriku. Pukul 13.45, lama banget. Padahal
kayaknya tadi aku sampai sini 30 menit yang lalu. Perasaan lama deh, nggak
biasanya sampai 30 menit gini, dan biasanya 5 sampai 15 menit, batinku. Tampaknya
orang-orang disekitarku yang juga sedang menunggu bus juga merasakan hal yang
sama. Lalu aku memberanikan diri bertanya kepada si mbak.
“Mbak, kok tumben lama? Biasanya nggak selama ini kan?”
tanyaku.
“Iya Dek, soalnya ada pergantian driver di Shelter RS
Hidayatullah,” jelas si mbak.
“Oh… Kira-kira berapa menit lagi ya, Mbak?”
“Sekitar 10 menit lagi Dek, bisnya udah sampai Shelter
Kusumanegara kok, bentar lagi.”
Ya sudah, daripada garing menunggu, lebih baik aku
mendengarkan musik saja dengan earphone dan
iPod yang kubawa. Lalu, beberapa menit kemudian…
“Jalur 2A… Para penumpang yang ingin ke Kridosono, RS
Bethesda, RS Dr. Yap, RS Panti Rapih, UNY, Sanata Dharma, Gejayan, Terminal
Condong Catur, Monjali, maupun Terminal Jombor, harap mempersiapkan diri…” seru
si mbak, menandakan busnya sudah dekat. Aku pun segera mempersiapkan diri.
Setelah bus datang, kulihat suasana dalam bus dari luar, ternyata busnya tidak
terlalu ramai. Berarti aku bisa duduk dengan nyaman dan tidak perlu berdiri.
Segera setelah aku duduk di kursi bus paling belakang yang
menghadap ke depan, aku segera memasukkan earphone
dan iPod ke dalam tas. Tiba-tiba kulihat diluar turun hujan. Pertama
gerimis, lama kelamaan lumayan deras. Untung
aku udah masuk bus. Terima kasih Tuhan, batinku. Tapi, ada sesuatu di dalam
bus yang tak terduga. Aku melihat seorang laki-laki berkacamata, memakai
seragam SMP (putih biru), sepertinya seumuran denganku (sama-sama kelas 8
maksudnya), dan setelah kulihat wajahnya ternyata……..
Aku masih
mengerjap-ngerjapkan mata, tak percaya. Hah? Benarkah? Apa aku sedang bermimpi?
Beberapa hari yang lalu aku juga melihatnya waktu aku bersama sepupuku di
Gramedia Ambarukmo Plaza, dan dia sedang membaca sebuah buku–yang entah tentang
apa–bersama salah satu temannya. Aku bahkan sampai tidak memikirkan bagaimana
reaksi orang-orang yang duduk dalam bus melihat ekspresiku yang terlalu
berlebihan itu. Orang yang duduk disebelahku pun menatapku aneh. Sudah kuduga
pasti dia berpikir, ni orang ngapain sih,
ngeliatin orang gitu banget. Tapi masa cowok berkacamata itu… DIA, dan
sekarang aku melihatnya lagi, di bus?
DIA? Dia siapa? Mungkin
kau penasaran siapa yang aku maksud DIA. DIA itu… adalah… orang yang kusukai
waktu aku SD. Jadi begini ceritanya. Dulu, waktu aku duduk di bangku kelas 5
SD, sekolahku kedatangan murid baru. Namanya (duh jadi malu nih, haha), Nicholas Pandu Dewangkara (aku masih
ingat nama lengkapnya, hehe…), panggilannya Pandu. Dia itu pindahan dari manca
lho. Dia itu pindahan dari sebuah SD di Seoul, Korea. Aslinya dia orang Jogja,
tapi dia pindah ke Negeri Ginseng itu sejak umur 6 tahun dan menetap disana
karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskannya tinggal di Korea. Aku tahu itu
dari seorang temanku yang kebetulan sekelas dengan dia. Sebenarnya ketika
awal-awal dia masuk sekolah itu aku tidak terlalu mengacuhkan dia. Saat itu aku
hanya berpikir, oh ada anak baru dari
manca, tapi orang Indonesia.
Tapi, aku mulai cari
tahu tentang dia sejak kelas 6, tepatnya sejak teman-temanku yang sekelas
dengan dia maupun teman-teman sekelasku tiba-tiba saja menjodohkanku atau
bahasa gaulnya aku dipacok-pacokin dengan
dia, gara-gara nilai ulangan IPS, Bahasa Inggris dan PKn kita sama. Lalu karena
namaku dan namanya selalu ada di daftar nama kelompok les yang sama, yaitu
kelompok 1 (les tambahan kelas 6 SD). Bahkan, guru-guru kelas 6 pun ikut-ikut macok-macokin. Halah. Njuk ngopo? Awalnya aku tidak peduli terhadap itu semua. Tapi lama kelamaan,
aku… ehm… mulai…. yap, menyukainya. Entah kenapa. Kata sahabatku, Hani, kalau dipacok-pacokin seperti itu nantinya
bisa benar-benar jadi suka. Yah, kurasa Hani benar. Jleb rasanya. Aku mulai
cari tahu tentang dia. Kata temanku yang sekelas dengannya, dia itu tipikal
cowok pintar yang, yah, tau sendiri lah, cuek sama cewek. Dia itu jago banget
yang namanya pelajaran eksak, ya macam Matematika atau Fisika gitu. Dia juga
pintar menggambar. Temanku itu bilang lagi, kalau bapaknya itu orang teknik dan
ibunya dokter. Ya sudah, menurun ke anaknya. Ya walaupun sebenarnya dia tidak
seganteng aktor-aktor Korea seperti Kim Soo Hyun, Kim Hyun Joong, Song Joong Ki
atau Lee Min Ho. Tapi kuakui, dia manis, sih. Haha. Tapi entah kenapa, aku jadi
tertarik dengan cowok pintar. Bahkan dulu waktu pengumuman kelulusan di SD, dia
mendapat NEM tertinggi di SD-ku, lho. Aku bahkan masih ingat berapa NEM-nya,
yaitu 27,60, dan kau tahu, nilai Matematika-nya 10! Keren. Andai saja aku
mendapatkan nilai sebagus itu. Tapi dulu kami tidak sering mengobrol. Hanya pada
waktu tertentu saja, seperti saat kami sama-sama menunggu jemputan, karena
kebetulan saat itu teman-teman kami yang lain tidak ada (yang ada hanya adik
kelas), sehingga kami tidak perlu malu… Kau tahu, dari salah satu temanku, aku
tahu bahwa sekarang ini dia sudah menjadi siswa SMP N 5 Yogyakarta alias
Pawitikra, SMP terfavorit di Jogja, yang pastinya berisi orang-orang berotak
encer.
Oke, kembali ke
kejadian di bus itu. Oh, ternyata dia tidak sendirian. Dia bersama sekitar 4
orang temannya. Sampai beberapa saat kemudian kenek bus (yang ternyata
mbak-mbak juga), ngobrol bareng 5 orang itu. Aku bisa mendengar pembicaraan
mereka karena aku duduk tidak begitu jauh dari mereka.
“Wah, mas-masnya dari
mana nih? Kok pada bawa soal-soal gitu? Hayo, habis tes ya?” tanya kenek bus
itu. Sok akrab banget nih mbak-mbak sama
berondong, pikirku sambil tertawa kecil.
"Tes apa, Mbak?
Mbak-nya sok tau, deh. Haha,” sahut salah satu teman Pandu yang berkulit putih,
sepertinya dia Chinese.
“Bukan tes, Mbak, tapi
simulasi olimpiade, hehe,” timpal cowok yang berkulit hitam dan berkacamata.
“Wah wah, ni mas-masnya
pinter-pinter ya. Mau pada olimpiade, hehe. Emangnya olimpiade apa nih?” sahut
si mbak kenek. Mbaknya kepo deh,
batinku.
“Ah
nggak juga, kok, Mbak. Baru simulasi kok, hehe. Olimpiadenya aja masih sebulan
lagi, kok. Olimpiade Fisika, Mbak,” kata cowok Chinese itu. Pandu kok nggak ngomong, sih? Mana cuma
senyum-senyum nggak jelas sama salah satu temennya, lagi, batinku gregetan sendiri.
“Wah,
Fisika? Keren tuh! Tingkat apa?”
“Tingkat
Provinsi DIY, Mbak. Kalo kita menang, kita bakal ngewakilin Jogja ke tingkat
nasional. Doain, ya, Mbak, hehe…”
“Wah,
pinter-pinter semua nih mas-masnya. Iya deh, saya doain, semoga mas-masnya bisa
menang dan mewakili Jogja, hehe. Ngomong-ngomong mas-masnya dari SMP mana nih?”
“Amin,
Mbak, hehe. SMP 5, Mbak.”
“Wah,
pantes aja, nggak heran saya. Sukses ya buat mas-masnya! Pada mau turun mana,
nih?”
“Hehe,
makasih, Mbak. Mau turun shelter depan sekolah, dong, Mbak, haha…” Shelter depan sekolah? Berarti Shelter Kridosono, batinku.
“Okedeh…”
Akhirnya
obrolan itu pun berhenti. Tidak terasa bus kami sudah mau sampai di Shelter
Kridosono, karena sekarang kami berada di Jalan Jembatan Layang Lempuyangan.
Itu artinya sebentar lagi mereka turun. Setelah mendengar obrolan itu, aku
berpikir, ya biasalah anak SMP 5, pintar semua. Pandu pastinya termasuk
golongan anak-anak SMP 5 yang sering ikut olimpiade. Tambah kece aja dia, batinku.
“Yak,
sebentar lagi kita akan sampai di Shelter Kridosono, SMP 5… Para penumpang yang
akan turun, dimohon mempersiapkan diri, jangan sampai ada barang yang
tertinggal…” suara si mbak kenek itu mengagetkanku saat aku sedang melamunkan
Pandu bersama teman-temannya. Beberapa detik kemudian, busnya sudah sampai di
Shelter Kridosono, dan… Pandu turun bersama teman-temannya disana. Tapi sebelum
turun, Pandu sempat tersenyum singkat padaku. Itu bukan GR belaka. Bahkan anak
SD–cewek–sepertinya kelas 6 SD–yang duduk disebelahku pun juga merasakan kalau
dia tersenyum padaku tadi.
“Wah mbaknya kenal sama mas-mas kece dari SMP
5 tadi, ya? Pantesan salah satu dari mereka ngajak senyum. Ciyee…” kata anak
itu pelan. Ini anak sok akrab juga ya.
Kenal aja nggak, batinku sambil tertawa.
“Ih
sok tau deh, nggak kok, hehe,” sahutku, jaim.
Yah,
itulah pengalamanku dari rutinitasku yang serba biasa itu. Tuh, kan, jadi KSBB.
KSBB itu singkatan anak-anak sekarang, kepanjangannya Kelingan Sing Biyen-Biyen. Biasalah, anak zaman sekarang, sukanya
buat singkatan, hehe. Nah, bagaimana rasanya jika kau bertemu cinta pertamamu?
Setelah sekian lama tidak bertemu? Beberapa waktu yang lalu memang aku sempat
bertemu dengannya, sih. Padahal dulu sejak masuk SMP aku sudah bisa
melupakannya dan tidak lagi memikirkannya. Ketika bertemu dia di Gramedia
Amplaz beberapa waktu lalu pun perasaanku biasa saja. Tapi sekarang, setelah
bertemu lagi, di TJ, di satu bus yang sama, kenapa rasanya rasa itu terulang
lagi? Apalagi setelah dia tersenyum padaku. Ya kuakui, jantungku sempat memacu
lebih kencang. Tapi sekarang sudah normal, kok, hehe...
Tidak
terasa waktu berjalan, sampailah busnya di Terminal Concat. Aku melangkah turun
dari bus. Aku merasa saat ini wajahku lebih gembira. Padahal kau tahu, kan,
tadinya wajahku kecut? Ya, mungkin karena aku bertemu DIA, cinta pertamaku.
Sesampainya
di rumah, aku bertanya-tanya. Berbagai pertanyaan muncul dalam otak dan hatiku.
Kenapa jantungku masih dag-dig-dug saat melihatnya, padahal di waktu yang
sudah-sudah, aku bisa melupakannya? Kenapa aku masih memikirkannya? Kenapa dia tersenyum
padaku, padahal aku tahu dia jarang tersenyum, apalagi dengan cewek? Apa dia
mempunyai perasaan yang sama denganku? Atau aku yang GR?
Daripada
galau, aku curhat ke salah satu teman Gerejaku, yah, dia juga sahabatku, sih.
Namanya Ratih (memang, namanya hampir sama denganku). Dia memang enak diajak
curhat. Aku menelponnya dan curhat semua kejadian hari ini. Dia bilang–dengan
logat Jawa yang medhok–yang jadi
ciri khasnya, “Kalau Tuhan mengizinkan 2
orang, cowok dan cewek berjodoh ya, Rat, setahuku, pasti bakal ketemu lagi.
Dipertemukan lagi sama Tuhan, apapun caranya. Kayak pengalamannya Mbak-ku yang
sulung itu. Mbak Rika kan sekarang udah married
sama Mas Radit itu lho, tau kan? Dia bilang dulu dia sama suaminya itu
pernah pacaran selama 5 tahun sejak SMA sampai kuliah, terus putus. 2 tahun
kemudian, mereka ketemu di Kona Coffee Shop. Mereka hanya saling melempar
senyum, ndak nyapa ataupun ngomong.
Terus, 5 tahun kemudian, mereka ketemu lagi di acara nikahan temannya Mbak Rika,
dan kebetulan Mas Radit diundang. Ternyata, diam-diam, mereka itu masih
menyimpan rasa sayang satu sama lain. Ya, itu, sih pengalamannya Mbak-ku.
Pengalamanmu tadi itu belum jadi jaminan, Rat, kalau dia benar-benar jodohmu.
Tapi, kita kan ndak tau apa yang
terjadi suatu hari nanti. Yowis, rasah
mikir kuwi, sing penting kan saiki sekolah wae sing bener, jarene mbokku sih, hehe. Cowok kan masih
banyak to Rat? Move on lah… Daripada
mikir orang yang belum tentu mikirin kamu?”
JEDER!
Jleb. Aku tersadar omongan Ratih tadi. Benar. Belum tentu juga kan dia
memikirkanku. Mungkin aku yang terlalu naif. Mungkin aku memang terlalu
berlebihan. Ah. Mungkin Pandu sempat tersenyum padaku di bus tadi itu hanya
sekadar formalitas; yakni bertemu dengan teman lama. Mungkin saja. Maybe. Perhaps. Percuma dong aku galau karena memikirkan orang yang belum
tentu memikirkanku juga, ya, kan? Tapi tetap saja, aku bingung. Akankah kami
bertemu lagi suatu hari nanti? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
**********
Well, itu tadi cerpen gue. Sori kalo antiklimaks :p Kalo pada suka ntar gue lanjutin deh :) Thanks for read :D Labels: curcol, galau, inspired, love life, my life and myself, not so important, short story |